cookieOptions = {link}; Haji Mabrur | Hafid Junaidi

Wednesday, October 16, 2013

Haji Mabrur

Segala kesibukan itu-dari menghitung tabungan, urusan ke Departemen Agama, antre di bank, pemeriksa kesehatan, kursus manasik haji, pamit-pamit, tasyakuran, menerima tamu-tamu yang titip doa, sampai upacara pelepasan di rumah, di kabupaten, hingga di embarkasi-sungguh melelahkan para calon jema'ah haji. Belum lagi urusan di bandara-bandara. Segala kesibukan itu tentunya pertama-tama karena didorong oleh keinginan hidup bahagia di akhirat. Di surga Allah. Bukanlah para penatar manasik selalu menyitir sabda Nabi Muhammad SAW, "Wal hajjul mabruur laisa lahu jazaa-un illa jannah"? haji mabrur tak ada balasannya kecuali surga.
Maka, bukan saja kerelaan mananggung segala-biaya (termasuk biaya yang tidak seharusnya), tenaga, dan pikiran-yang dapat kita lihat dari kesibukan para calhaj (calon haji) itu, tetapi juga dari semangat dan keseriusan mereka saat beribadah di tanah suci. Siapa yang mau bersusah payah sedemikian tanpa hasil, sia-sia, gara-gara haji tidak mabrur.

Semuanya ingin haji mabrur, Para petugas dari Departemen Agama, Perkumpulan-perkumpulan haji, dan KBIH-KBIH pun senantiasa memujika hal itu. Namun sayang, pengertian tentang "mabrur" itu sendiri jarang atau bahkan tidak pernah diterangkan. Hal ini mungkin karena mereka sudah mempunya khusnuzan bahwa para jama'ah sudah paham. Yang selalu dijelas-jelaskan justru bagaimana cara thawaf, sa'i, wuquf, melempar jumrah, serta amalan ibadah haji dan doa-doanya. Di beberapa daerah, bahkan, didirikan kabah- kabah-an permanen atau semi permanen untuk keperluan "latihan" thawaf. Ini sebenarnya lucu.

Mengapa harus kursus dan latihan? Haji adalah ibadah amaliyah. Ibadah laku. Tidak seperti salat yang di samping laku, ada bacaan-bacaan yang wajib juga. Sedangkan amalan atau laku ibadah haji,, tidak ada yang sulit. Ihram hanya memakai pakaian, salat sunnah, dan niat. Thawaf hanya berputar-putar mengelilingi Kabah 7 kali. Anda tidak bisa membayangkan orang-sebodoh apa pun tanpa dilatih sekalipun-keliru thawaf, misalnya keliru berputarnya. Sebab, jika keliru berputar, orang itu akan tertabrak orang-orang yang lain. Sa'i hanyalah mondar-mandir dari Shofa ke Marwah. Jalur jalannya sudah diatur dua jalur; yang menuju ke Marwah dan yang kembali ke Shofa. Tak mungkin orang keliru, kecuali-paling-paling-lupa hitungannya.

Wuquf yang merupakan inti ibadah haji justru hanyalah berdiam diri. Thenguk-thenguk, bahasa Jawanya. Masak berdiam diri saja mesti dilatih? Hanya beberapa anak kecil yang biasanya sulit thenguk-thenguk. Melempar jumroh pun hanya melempar. Bagi mereka yang di waktu kecil nakal dan suka melempar jambu tetangga, melempar jumroh tentu perkara kecil. Sedangkan yang namanya tahallul, tidak lain hanya mencukur atau memotong rambut.

Jadi, menurut saya, hal-hal seperti itu perlu dikurangi-jika berat menghapuskannya-dari kurikulum penataran manasik haji. Yang justru perlu adalah memberikan penerangan kepada jamaah calhaj-yang umumnya orang-orang awam-tentang hal-hal teknis lainnya. Misalnya, apa yang sebaiknya dibawa dan apa yang tidak perlu dibawa, bagaimana menjaga kesehatan, bagaimana menghadapi "kehidupan luar negeri" dan tetek-bengeknya, bagaimana menghadapi berbagai macam jenis manusia yang berbeda adat-istiadatnya, dsb, dst.

Berkenaan dengan hadis tentang kemabruran haji itu, ada riwayat yang menyebutkan adanya pertanyaan para sahabat saat Nabi Muhammad SAW menyebut-nyebut tentang haji mabrur itu: "Wamaa birrul hajji ya Rosulallah?" Apa kemabruran haji itu ya Rasulullah? Dan ternyata jawaban Rasulullahn SAW tidak berhubungan dengan thawaf, sa'i, dan sebagainya itu. Tetapi, justru yang ada hubungannya dengan pergaulan dengan sesama jama'ah yang sama-sama beribadah, seperti menebarkan sala dan memberikan pertolongan. Bila riwayat ini dianggap dhaif, kita masih bisa menyimak sunnah Rasul saat melakukan ibadah haji. Bagaimana sifat tawadhu', kemurahan, kelembutan, dan hal-hal lain yang menunjukkan penyerahan diri beliau sebagai hamba kepada Tuhan dan teposliro beliau kepada sesama hamba-Nya.

Boleh jadi, semangat yang menggebu-gebu untuk mendapatkan kemabruran tanpa memahami makna kemabruran itu sendiri dapat menyeret jama'ah haji kepada sikap egois dan mau "menang sendiri". Lihatlah mereka yang berusaha mencium Hajar Aswad itu, misalnya Alangkah ironis. Mencium Hajar Aswad paling tinggi hukumnya adalah sunnah, tapi mereka sampai tega menyikut saudara-saudara mereka sendiri kanan-kiri. Bagaimana berusaha melakukan sunnah dengan berbuat yang haram? Jangan-jangan, dalam banyak hal lain, kita juga hanya mengandalkan semangat yang menggebu dan mengabaikan pemahaman. Masya Allah.

Nah, jika ingin haji mabrur, jagalah hubungan baik dengan Allah dan dengan sesama hamba Allah. Selamat beribadah! Semoga benar-benar mabrur!

>>>>> tulisan ini kami tulis ulang dari tulisan KH A Mustofa Bisri pada buku beliau yang berjudul "Membuka Pintu Langit" semoga bermanfaat bagi kita<<<<<

No comments:

Post a Comment