cookieOptions = {link}; Artikel Zakat Profesi | Hafid Junaidi

Friday, February 13, 2015

Artikel Zakat Profesi

Berikut ini artilek tentang zakat profesi oleh Oleh Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, M.Sc yang dipublikasikan dalam situs http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/sekitar-zakat-profesi/ pada 4 Juni 2014 yang baru saja kami akses pada hari ini 13 Pebruari 2014.

Assalamualaikum Wr Wb

Hasil penghasilan profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dan lain-lain) merupakan sumber pendapatan (kasab)yang tidak banyak dikenal di masa salaf (generasi terdahulu). Oleh karena itu, bentuk kasab ini tidak banyak dibahas, khususnya yang berkaitan dengan zakat. Lain halnya dengan bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan perniagaan. Ketiga bidang ini mendapat porsi pembahasan yang sangat memadai dan mendetail.

Meskipun demikian, bukan berarti harta yang didapat dari hasil profesi bebas dari zakat. Hal ini disebabkan, zakat pada hakekatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang mampu untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantara mereka (sesuai dengan ketentuan syara’). Adapun istilah ulama salaf bagi pendapatan rutin atau gaji yang didapatkan seseorang biasa adalah a’thoyat. Sedangkan untuk profesi biasanya disebut dengan al-maalul musthafaad.

Beberapa riwayat menjelaskan hal tersebut, diantaranya adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud, Mu’awiyah dan Umar bin Abdul Aziz yang menjelaskan bahwa beliau mengambil zakat dari a’thoyat, jawaiz (hadiah) dan al-madholim (barang ghasab yang dikembalikan). Abu Ubaid meriwayatkan, “Adalah Umar bin Abdul Aziz memberi upah kepada pekerjaannya dan mengambil zakatnya, dan apabila mengembalikan al-madholim (barang ghasab yang dikembalikan) diambil zakatnya, dan beliau juga mengambil zakat dari a’thoyat (gaji rutin) yang diberikan kepada yang menerimanya”.

Dalam kajian ulama tentang zakat di era modern disebutkan beberapa alasan kewajiban zakat profesi, antara lain:

Pertama, ayat-ayat Al Quran yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya. “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” QS Al Baqarah [2]: 267 )

Kedua, berbagai pendapat para ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda. Sebagian dengan menggunakan istilah yang bersifat umum yaitu al-amwaal, sementara sebagian lagi secara khusus memberikan istilah dengan istilah al-mustafad seperti teradapat dalam fiqh zakat dan al-fiqh al-Islamy wa ‘Adillatuhu.

Dalam Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait pada 29 Rajab 1404 H/ 30 April 1984 M, para peserta sepakat akan wajibnya zakat profesi jika sampai pada nishab, walaupun mereka berbeda pendapat tentang cara pelaksanaannya.

Ketiga, dari sudut keadilan-yang merupakan ciri utama ajaran Islam-penetapan kewajiban zakat pada setiapa harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yang konvensional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetapi harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapaia nishab. Karena itu sangat adil pula, apabila zakat inipun bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para dokter, para ahli hukum, konsultan dalam berbagai bidang, para dosen, para pegawai dan karyawan yang memiliki gaji tinggi, dan profesi lainnya.

Keempat, sejalan dengan perkembangan kehidupan umat manusia, khususnya dalam bidang ekonomi, kegiatan penghasilan melalui keahlian dan profesi ini akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan akan menjadi kegiatan ekonomi yang utama, seperti terjadi di negara-negara industri sekarang ini. Penetapan kewajiban zakat kepadanya, menunjukkan betapa hukum Islam sangat aspiratif dan responsif terhadap perkembangan zaman.

Prof. Dr. Afif Abdul Fatah Thabbarah dalam Ruh al-Din al-Islamy, (Damaskus : Daar el-Fikr, 1966) menyatakan bahwa aturan dalam Islam itu bukan saja sekedar berdasarkan pada keadilan bagi seluruh ummat manusia, akan tetapi sejalan dengan kemaslahatan dan kebutuhan hidup manusia, sepanjang zaman dan keadaan, walaupun zaman itu berbeda dan berkembang dari waktu ke waktu.

Dalam kaitan ini BAZNAS menetapkan standar penghasilan atau gaji yang wajib dizakati adalah minimal Rp 3.144.000 (tiga juta seratus empat puluh empat ribu rupiah) per bulan di luar tunjangan Pajak Penghasilan (PPh). Standar penghitungan zakat profesi di atas disosialisasikan BAZNAS di lingkungan instansi pemerintah dan perusahaan.

Kesadaran dan ketaatan dalam menunaikan zakat, selain sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT dan keyakinan akan kebenaran ajaran-Nya serta perwujudan syukur ni’mat, terutama nikmat harta benda, sekaligus meminimalisir sifat kikir, materialistik, egoistik dan hanya mementingkan diri sendiri. Sifat bakhil adalah sifat yang tercela yang akan menjauhkan manusia dari rahmat Allah SWT.

Sabda Rasulullah SAW, “Bersihkanlah hartamu dengan zakat, dan obatilah sakit kalian dengan bershadaqah, dan tolaklah olehmu bencana-bencana itu dengan do’a.” (HR. Khatib dari Ibnu Mas’ud).

Wallahu a’lam bisshawab

Oleh Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, M.Sc

Ketua Umum BAZNAS

No comments:

Post a Comment