Beragamnya pandangan kaum muslimin terhadap ibadah haji boleh jadi terkait dengan taraf dan tingkat pemahaman mereka terhadap agamanya. Tiap pandangan membawa implikasinya sendiri-sendiri. Misalnya, mereka yang memandang haji semata-mata sebagai salah satu rukun Islam mungkin merasa kurang bila belum melaksankaan haji dan akan berusaha untuk itu. Sebaliknya, banyak di antara mereka yang sudah berhaji merasa lebih Islam daripada saudaranya yang belum berhaji.
Mereka yang memandang haji sebagai kewajiban bagi yang mampu saja akan membuat orang yang tidak mampu kurang memikirkannya. Bahkan ada yang lebih ekstrem: dihajikan orang pun tidak mau. Itu berbeda dengan mereka yang memandang haji sebagai anugerah. Mereka ini biasanya mengadakan tasyakuran segala, bahkan sebelum melaksanakan haji. Padahal, untuk salat atau puasa, mereka tak pernah tasyakuran. Mereka yang berpanadangan begini umumnya adalah yang merasa tak menyangka-nyangka bisa pergi haji, seperti wartawan, pegawai negeri, seniman, atau pengangguran. Yang masuk kategori ini dengan pengertian anugerah yang benar-benar anugerah adalah anak-cucu dan orang-orang dekat petinggi negara.
Ada juga yang memandang haji sebagai cita-cita hidup. Mereka yang punya pandangan seperti ini, sebagaimana pemilik cita-cita hidup lainnya, akan mengerahkan segala daya agar bisa menunaikannya. Ada pula yang berpendapat bahwa ibadah haji itu seperti seminar, seminar internasional. Hujjaj adalah mereka yang mendapat undangan seminar. Bagi mereka yang sudah biasa diundang seminar betulan, pendapat ini bisa membawa implikasi harapan: transportasi dan akomodasi akan diganti oleh panitia.
Ada pula yang memandang haji sebagai sesuatu yang demikian sakralnya, sehingga meski sudah mampu, mereka belum tentu segera melaksanakannya. Mereka memerlukan persiapan mental segala. Mungkin mereka ini banyak dipengaruhi oleh mereka yang berpandangan bahwa ibadah haji merupakan "geladi resik" kematian. Karena itu, sewaktu akan berangkat, mereka ini pamit dan berwasiat kepada yang ditinggalkan. Banyak pengantar yang menangis saat melepas; bahkan di banyak tempat, mereka yang akan berangkat itu diazani segala. Kemudian nanti "di sana" hanya berpakaian dua lembar kain putih bagai kafan.
Berbeda dengan rukun Islam yang lain, haji umumnya dianggap ibadah yang berat dan sulit. Benarkah? Berat mungkin ya. Tapi sulit saya kira tidak. Tidak ada ibadah yang sulit karena semua ibadah - yang diwajibkan - pelaksanaannya disertai catatan: semampunya. Bahkan takwa sendiri dalam Al Quran perintahnua berbunyi, "IttaqLlaha mastatha'tum! Takwalah kepada Allah semampumu." Allah berbeda dengan mereka yang sok mewakili-Nya yang gila dipatuhi; bila tidak dipatuhi menurut standarnya, mereka akan marah-marah. Allah Mahatahu hamba-hamba-Nya. Tahu kemampuan dan kekuatan mereka. Tahu taraf pemahaman dan pemikiran mereka. Berbeda dengan mereka yang sok mewakili-Nya, Allah tahu pasti bahwa hamba-hamba-Nya yang berusaha melaksanakan perintah-Nya tidak sama kemampuannya dan kepandaiannya.
Haji memang berat ditinjau dari elaksanaannya yang memerlukan kemampuan biaya dan tenaga. Tetapi, dilihat dari sisi ibadahnya, haji sama sekali tidak sulit. Barangkali yang mengatakan sulit hanya orang-orang KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Ibadah haji, menurut saya, tidak memerlukan bimbingan yang rumit seperti salat. Haji, tidak memerlukan bimbingan yang rumit seperti salat. Haji, tidak seperti salat, merupakan ibadah amaliah. Artinya, yang penting amaliahnya, lakunya. Asal benar ihramnya (memakai pakaian dua lembar dan niat haji/umrah), benar thawafnya (mengitari Kabah tujuh kali ke kiri), benar sa'inya (jalan hilir-mudik dimulai dan dihitung dari Shafa ke Marwah, sebanyak tujuh kali), benar wuqufya (berdiam diri di Arafah), benar melempar jumrahnya, umrahnya, dan seterusnya, sahlah hajinya. Sedangkan bacaan-bacaannya hanyalah merupakan pelengkap yang tdak menjadi rukun haji.
Haji anda sah tanpa Anda membaca apa pun. Praktik amalan atau laku seperti itu, tak usah dibimbing atau ditatar pun, insya Allah semua orang pasti bisa. Sebab, tawaf misalnya, bila salah lakunya: tidak ke kiri, tapi ke kanan, Anda akan ketabrak-tabark orang banyak, karena menentang arus. Orang yang tahu mana Shafa mana arwah dan mengerti hitungan pasti bisa melaksanakan sai. Dan orang haji, bila tidak terlalu blo'on, pasti tahu mana Shada mana Marwah sebagaimana orang tahu Monas dan Stasiun Gambir. La, kalau begitu mudah, mengapa sudah ada penataran masih ada banyak KBIH segala? Ah, seperti Anda tidak tahu saja. Itu kan hanya pekerjaan orang yang mencari ganjaran: fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah.
Memang ada sisi haji yang bisa dipandang berat dan sekaligus sulit, sesuatu yang justru sering tak dipikirkan mereka yang berhaji, yaitu menyadari bahwa ibadah haji itu untuk "menyenangkan" Allah, mencari rida Allah. Bukan untuk menyenangkan diri sendiri. Semua orang yang datang ke Tanah Suci, tanpa kecuali, masing-masing ingin hajinya mabrur. Sayannya, jarang sekali ada yang menjelaskan pengertian haji mabrur itu. Seperti terhadap banyak istilah lain, semuanya seolah sudah tahu dan dianggap tahu makna haji mabrur itu. dan lihatlah semangat jama'ah haji untuk mendapatkan haji mabrur itu! Masing-masing seperti tiba-tiba menjadi manusia egois yang tidak mengenal bahkan tidak mau tahu kepada saudara-saudaranya yang bersama-sama menginginkan haji mabrur. Maka sikut-menyikut, bertengkar di Tanah Suci, pun menjadi kewajaran, seolah-olah di tanah air saja.
Semangat tanpa dibarengi pemahaman dan kesadaran semacam itulah kiranya yang dalam jangkauan yang lebih luas-keberagaman secara umum-sering menimbulkan masalah dalam pergaulan hidup. Semangat ber-Islam begitu hebat, jauh melebihi pemahaman terhadap Islam itu sendiri. Semangat mencintai dan ingin menyenangkan Allah yang tidak ibarengi dengan pengenalan terhadapNya ibarat orang mencintai kekasih yang tidak dikenalnya. Lucu dan sekaligus mengharukan.
Wallahu a'lam.
>>>>> tulisan ini kami tulis ulang dari tulisan KH A Mustofa Bisri pada buku beliau yang berjudul "Membuka Pintu Langit" semoga bermanfaat bagi kita<<<<<
Mereka yang memandang haji sebagai kewajiban bagi yang mampu saja akan membuat orang yang tidak mampu kurang memikirkannya. Bahkan ada yang lebih ekstrem: dihajikan orang pun tidak mau. Itu berbeda dengan mereka yang memandang haji sebagai anugerah. Mereka ini biasanya mengadakan tasyakuran segala, bahkan sebelum melaksanakan haji. Padahal, untuk salat atau puasa, mereka tak pernah tasyakuran. Mereka yang berpanadangan begini umumnya adalah yang merasa tak menyangka-nyangka bisa pergi haji, seperti wartawan, pegawai negeri, seniman, atau pengangguran. Yang masuk kategori ini dengan pengertian anugerah yang benar-benar anugerah adalah anak-cucu dan orang-orang dekat petinggi negara.
Ada juga yang memandang haji sebagai cita-cita hidup. Mereka yang punya pandangan seperti ini, sebagaimana pemilik cita-cita hidup lainnya, akan mengerahkan segala daya agar bisa menunaikannya. Ada pula yang berpendapat bahwa ibadah haji itu seperti seminar, seminar internasional. Hujjaj adalah mereka yang mendapat undangan seminar. Bagi mereka yang sudah biasa diundang seminar betulan, pendapat ini bisa membawa implikasi harapan: transportasi dan akomodasi akan diganti oleh panitia.
Ada pula yang memandang haji sebagai sesuatu yang demikian sakralnya, sehingga meski sudah mampu, mereka belum tentu segera melaksanakannya. Mereka memerlukan persiapan mental segala. Mungkin mereka ini banyak dipengaruhi oleh mereka yang berpandangan bahwa ibadah haji merupakan "geladi resik" kematian. Karena itu, sewaktu akan berangkat, mereka ini pamit dan berwasiat kepada yang ditinggalkan. Banyak pengantar yang menangis saat melepas; bahkan di banyak tempat, mereka yang akan berangkat itu diazani segala. Kemudian nanti "di sana" hanya berpakaian dua lembar kain putih bagai kafan.
Berbeda dengan rukun Islam yang lain, haji umumnya dianggap ibadah yang berat dan sulit. Benarkah? Berat mungkin ya. Tapi sulit saya kira tidak. Tidak ada ibadah yang sulit karena semua ibadah - yang diwajibkan - pelaksanaannya disertai catatan: semampunya. Bahkan takwa sendiri dalam Al Quran perintahnua berbunyi, "IttaqLlaha mastatha'tum! Takwalah kepada Allah semampumu." Allah berbeda dengan mereka yang sok mewakili-Nya yang gila dipatuhi; bila tidak dipatuhi menurut standarnya, mereka akan marah-marah. Allah Mahatahu hamba-hamba-Nya. Tahu kemampuan dan kekuatan mereka. Tahu taraf pemahaman dan pemikiran mereka. Berbeda dengan mereka yang sok mewakili-Nya, Allah tahu pasti bahwa hamba-hamba-Nya yang berusaha melaksanakan perintah-Nya tidak sama kemampuannya dan kepandaiannya.
Haji memang berat ditinjau dari elaksanaannya yang memerlukan kemampuan biaya dan tenaga. Tetapi, dilihat dari sisi ibadahnya, haji sama sekali tidak sulit. Barangkali yang mengatakan sulit hanya orang-orang KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Ibadah haji, menurut saya, tidak memerlukan bimbingan yang rumit seperti salat. Haji, tidak memerlukan bimbingan yang rumit seperti salat. Haji, tidak seperti salat, merupakan ibadah amaliah. Artinya, yang penting amaliahnya, lakunya. Asal benar ihramnya (memakai pakaian dua lembar dan niat haji/umrah), benar thawafnya (mengitari Kabah tujuh kali ke kiri), benar sa'inya (jalan hilir-mudik dimulai dan dihitung dari Shafa ke Marwah, sebanyak tujuh kali), benar wuqufya (berdiam diri di Arafah), benar melempar jumrahnya, umrahnya, dan seterusnya, sahlah hajinya. Sedangkan bacaan-bacaannya hanyalah merupakan pelengkap yang tdak menjadi rukun haji.
Haji anda sah tanpa Anda membaca apa pun. Praktik amalan atau laku seperti itu, tak usah dibimbing atau ditatar pun, insya Allah semua orang pasti bisa. Sebab, tawaf misalnya, bila salah lakunya: tidak ke kiri, tapi ke kanan, Anda akan ketabrak-tabark orang banyak, karena menentang arus. Orang yang tahu mana Shafa mana arwah dan mengerti hitungan pasti bisa melaksanakan sai. Dan orang haji, bila tidak terlalu blo'on, pasti tahu mana Shada mana Marwah sebagaimana orang tahu Monas dan Stasiun Gambir. La, kalau begitu mudah, mengapa sudah ada penataran masih ada banyak KBIH segala? Ah, seperti Anda tidak tahu saja. Itu kan hanya pekerjaan orang yang mencari ganjaran: fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah.
Memang ada sisi haji yang bisa dipandang berat dan sekaligus sulit, sesuatu yang justru sering tak dipikirkan mereka yang berhaji, yaitu menyadari bahwa ibadah haji itu untuk "menyenangkan" Allah, mencari rida Allah. Bukan untuk menyenangkan diri sendiri. Semua orang yang datang ke Tanah Suci, tanpa kecuali, masing-masing ingin hajinya mabrur. Sayannya, jarang sekali ada yang menjelaskan pengertian haji mabrur itu. Seperti terhadap banyak istilah lain, semuanya seolah sudah tahu dan dianggap tahu makna haji mabrur itu. dan lihatlah semangat jama'ah haji untuk mendapatkan haji mabrur itu! Masing-masing seperti tiba-tiba menjadi manusia egois yang tidak mengenal bahkan tidak mau tahu kepada saudara-saudaranya yang bersama-sama menginginkan haji mabrur. Maka sikut-menyikut, bertengkar di Tanah Suci, pun menjadi kewajaran, seolah-olah di tanah air saja.
Semangat tanpa dibarengi pemahaman dan kesadaran semacam itulah kiranya yang dalam jangkauan yang lebih luas-keberagaman secara umum-sering menimbulkan masalah dalam pergaulan hidup. Semangat ber-Islam begitu hebat, jauh melebihi pemahaman terhadap Islam itu sendiri. Semangat mencintai dan ingin menyenangkan Allah yang tidak ibarengi dengan pengenalan terhadapNya ibarat orang mencintai kekasih yang tidak dikenalnya. Lucu dan sekaligus mengharukan.
Wallahu a'lam.
>>>>> tulisan ini kami tulis ulang dari tulisan KH A Mustofa Bisri pada buku beliau yang berjudul "Membuka Pintu Langit" semoga bermanfaat bagi kita<<<<<
No comments:
Post a Comment